KESEJAHTERAAN PERSPEKTIF ISLAM
I. LATAR BELAKANG
Dunia adalah ladang untuk hidup diakhirat. Itulah kata kuncinya kenapa kita hidup didunia harus kaya dan sejahtera serta mati masuk surga. Baik kaya secara materi maupun kaya secara lahir maupun batin, karena kaya harta tidak pasti sejahtera tapi untuk sejahtera kita butuh harta. Berbicara kesejahteraan dalam literatur ekonomi, ternyata secara terminologi kesejahteraan memiliki banyak pengertian. Defenisi “kesejahteraan” dalam sistem ekonomi kapitalis-konvensional merupakan konsep materilialis murni yang menafikan keterkaitan ruhaniah. Akan tetapi, sebagian masyarakat menginginkan kesejahteraan lahir batin, yang berarti bahwa kesejahteraan yang diinginkan adalah tidak menafikan dan mempunyai ketersinggungan dengan aspek ruhaniah. Konsep “kesejahteraan” yang memasukkan tujuan kemanusiaan dan keruhaniaan, tentu akan berakibat pada keharusan mendiskusikan secara ilmu ekonomi apa hakekat tujuan kesejahteraan tersebut dan bagaimana merealisasikannya. Tujuan-tujuan konsep kesejahteraan dalam kedua visi tersebut tidak hanya mencakup soal kesejahteraan ekonomi dalam arti materi semata, tetapi juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
kesejahteraan lahir batin dapat dikatakan terealisasikan apabila memenuhi unsur-unsur berikut, yaitu kebutuhan dasar bagi semua masyarakat terpenuhi, tingkat perbedaan sosial-ekonomi tidak terlalu mencolok, full employment (tidak adanya pengangguran usia produktif), keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, stabilitas ekonomi tercapai tanpa beban hutang luar negeri yang berat, tingkat inflasi tidak tinggi, penyusutan sumber daya ekonomi yang tidak dapat diperbaharui tidak tinggi, dan kerusakan ekosistem yang dapat membahayakan kehidupan tidak terjadi.
Di samping hal-hal di atas, harus terpenuhi pula hal-hal sebagai berikut, yakni telah terwujudnya tingkat solidaritas keluarga dan sosial yang tinggi terhadap tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah terhadap anak-anak, usia lanjut, orang sakit, orang-orang lemah, fakir miskin, keluarga bermasalah, janda-janda, penanggulangan kenakalan remaja, kriminalitas, dan kekacauan sosial serta pertikaian menyangkut syara’.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka berbicara konsep kesejahteraan lahir batin tidak terbatas pada variabel-variabel ekonomi saja, melainkan moral, agama, psikologi, sosial, politik. Seorang manusia bisa saja mencapai puncak kemakmuran dari segi materi, tetapi kejayaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama apabila mempunyai moral individu dan sosial sangat lemah, terjadi disintegrasi keluarga, ketegangan sosial dan anomie[1] masyarakat meningkat, serta pemerintah daerah tidak dapat berperan sesuai dengan porsi dan sebagaimana mestinya.
Sesungguhnya aspek materi dan ruhaniah bagi kesejahteraan tidak independen satu dengan lainnya, tetapi keduanya sangat berhubungan erat. Tingkat keharmonisan keluarga yang tinggi akan meningkatkan produktivitas individu dalam pembangunan ekonomi dan dunia usaha, sedangkan keharmonisan kehidupan sosial akan membangun lingkungan yang lebih kondusif bagi pemerintahan daerah yang lebih efektif serta meningkatkan pembangunan di segala bidang.
Untuk mencapai konsep kesejahteraan tersebut, setiap orang baik sebagai anggota masyarakat atau dunia usaha, maupun sebagai bagian dari organisasi pemerintahan diharuskan mengorbankan kepentingan pribadi demi memenuhi kemaslahatan sosial di lingkungan keluarga, dalam dunia usaha, hidup bermasyarakat, atau di dalam bidang pemerintahan. Selama maksimalisasi kekayaan dan konsumsi adalah satu-satunya tujuan, maka pengorbanan tidak akan ada artinya.
Pemenuhan kepentingan pribadi adalah sebaik-baik kebijaksanaan, namun sebagai konsekuensinya sistem kekeluargaan akan hancur, kualitas generasi mendatang akan menurun, atau bahkan akan berakibat fatal pada kinerja dunia usaha dan pemerintahan itu sendiri. Sebuah kenyataan membuktikan bahwa kemajuan hidup secara materi tidak menjamin tingginya tingkat kebahagiaan dan keharmonisan sosial. Berdasarkan penelitian Richard Easterlin yang dilakukan dalam 30 survei di 19 negara maju dan berkembang, disimpulkan bahwa negara-negara kaya tidak lantas lebih bahagia dari negara-negara miskin. Dengan demikian, ada hal lain, selain materi, yang dibutuhkan untuk menciptakan kebahagiaan dan keharmonisan serta menghilangkan ketegangan dan anomie dalam mencapai suatu kesejahteraan.
II. RUMUSAN MASALAH
Karena kesejahteraan adalah sesuatu yang subjektif, maka definisi welfare membuat orang hanya bisa memahami welfare sesuai dengan prinsipnya masing-masing. Pemahaman terhadap konsepsi kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi intensitas agregat, tetapi juga representasi distribusional kesejahteraan antar kelompok masyarakat atau antar daerah. Representasi distribusional merupakan muara dari persoalan yang mendasar, yaitu keadilan. Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional tersebut. Konsep tentang kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan.
Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau menaik sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan? Apa sebenarnya kesejahteraan ini menurut Islam ?, dan Apa indikator sejahtera menurut Islam?.
III. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang dipakai penulis adalah metode penulisan sebagai berikut :
1. Jenis Penulisan
Jenis penulisan yang dipakai adalah Library Research (kajian pustaka), dengan mencari sumber data yang terkait dengan masalah-masalah kesejahteraan baik kapitalis, sosialis, dan Islami.
2. Sifat Penulisan
Sifat penulisan yang dipakai adalah sifat penulisan deskriftif analitik yaitu menjelaskan dan menggambarkan obyek tulisan dalam hal kesejahteraan dan kemudian dilakukan analisis data menurut persepsi dalam Islam.
3. Pendekatan Masalah
Adapun pendekatan masalah yang dipakai dalam usaha memecahkan persoalan yang ada dalam makalah ini adalah pendekatan normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengacu kepada apa definisi kesejahteraan dan indikator bisa dikatakan sejahtera dalam perspektif Islam berdasarkan nash al-Qur’an atau al-Hadist maupun hasil pemikiran (ijtihad) para ahli fiqih serta para pemikir muda ekonomi Islam.
IV. TINJAUAN TEORITIS
IV.1 Potret Kesejahteraan di Indonesia
Media Indonesia belum lama ini menyajikan hasil survei Litbang Media Group, survei ini dilakukan terhadap 480 responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telepon di enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar) (Halida, 2008). Responden ditanya bagaimana pendapatannya saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apakah semakin berat atau ringan? Mayoritas responden (73%) menjawab bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari saat ini semakin berat; sebanyak 21% responden menjawab sama saja; dan hanya 6% yang menjawab semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau semakin mudah, sebagian besar responden (89%) menjawab sekarang makin sulit mencari pekerjaan baru; sebanyak 5% responden menjawab sama saja; 4% menjawab makin mudah; dan 2% tidak tahu[2].
Hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mencemaskan (Suharto, 2007). Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari. Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk. Meski terkadang tumpang tindih, potret kesejahteraan ini akan lebih buram lagi jika dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang oleh Departemen Sosial diberi label Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Di dalam kelompok ini berbaris jutaan gelandangan; pengemis; Wanita Tuna Susila; Orang Dengan Kecacatan; Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA); Komunitas Adat Terpencil (KAT); Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus atau Children in Need of Special Protection (CNSP) (anak jalanan, buruh anak, anak yang dilacurkan, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang terlibat konflik bersenjata); jompo telantar dan seterusnya. Mereka sering kali bukan saja mengalami kesulitan secara ekonomi, melainkan pula mengalami sosial exlusion-pengucilan sosial akibat diskriminasi, stigma, dan eksploitasi.
IV.2 Teori Uang dalam Perspektif Islam
Islam tidak mengenal konsep Time Value of Money, namun Islam mengenal konsep Economic Value of Time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah saw, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (Deferred Payment) lebih tinggi daripada harga tunai (Cash).
Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan Time Value of Money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500,- maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp 1000,-. Sedangkan bila dijual tangguh bayar, maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai (Drs. Zainul Arifin, MBA) .
Ekonomi Islam memandang waktulah yang memiliki nilai ekonomis (penting). Pentingnya waktu disebutkan Allah dalam QS.Al Ashr:1-3
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Namun nilai dari waktu itu akan berbeda dari satu orang keorang lainnya, tergantung pada bagaimana seseorang memanfaatkan waktunya. Semakin efektif dan efisien, maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan dunia dan akhirat. Dengan demikian uang tidak memiliki nilai waktu, namun waktulah yang memiliki nilai ekonomis (economic value of time), dengan catatan bila waktu tersebut dimanfaatkan secara baik. Implikasinya, dalam bisnis akan selalu dihadapkan risiko untung dan rugi yang tidak dapat dipastikan dimasa yang akan datang, usaha yang dilakukan oleh manusia dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil yang terbaik.
IV.3 Kebijakan Sosial
Dalam buku State-Building: Governance and World Order in the 21st Century, Francis Fukuyama (2005), dengan mengurangi peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bahkan bisa jadi kemiskinan dan kesenjangan sosial semakin parah dan menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Keruntuhan atau kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak azasi manusia selama tahun 1990-an di Somalia, Haiti, Kamboja, Bosnia, Kosovo, dan Timor Timur (Fukuyama, 2005; lihat Suharto, 2007).
Selain memperlihatkan kejujuran ilmiah Fukuyama, dalam bukunya State-Building juga menjelaskan bahwa dia telah “insyaf” dari “kekeliruan” pada pemikiran sebelumnya. Dalam bukunya yang terdahulu, The End of History and The Last Men (1992), Fukuyama dengan yakin menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia (seakan) telah berakhir. Pertarungan antara komunisme dan kapitalisme juga telah usai dengan kemenangan kapitalisme (neoliberalisme). Mengapa kapitalisme menang? Jawabanya adalah karena sistem ini dianggap paling cocok untuk manusia abad ini. Dan kita tahu semua, kapitalisme sangat menganjurkan peran negara yang sangat minimal dalam pembangunan ekonomi, apalagi pembangunan sosial. Sekarang, dalam bukunya State-Building dengan lantang Fukuyama berkata bahwa “negara harus diperkuat!”. Kesejahteraan, kata Fukuyama, tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat; yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya.
Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat significant dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orangpun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Globalisasi dan kegagalan pasar sering dicatat sebagai faktor penyebab mencuatnya persaingan yang tidak sehat, monopoli dan oligopoli, kesenjangan ekonomi di tingkat global dan nasional, kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang, serta ketidakmampuan dan keengganan perusahaan swasta mencukupi kebutuhan publik, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Mishra (2000) dalam bukunya Globalization and Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan social kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.
IV.4 Teori Permintaan Uang dalam Ekonomi Islam
Ada dua alasan memegang uang dalam ekonomi Islam;
1. Motivasi Transaksi
2. Motivasi Berjaga-jaga.
Spekulasi dalam Pengertian Keynes tidak pernah ada dalam ekonomi Islam, sehingga fungsi permintaan uang untuk tujuan spekulasi (sebagai fungsi tingkat bunga) menjadi nol.
Permintaan uang dalam ekonomi Islam berhubungan dengan dengan tingkat pendapatan. Besarnya persediaan uang tunai yang dipegang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan frekuensi pengeluaran. Analisis yang sama dapat digunakan untuk perusahaan yang memerlukan uang tunai guna pembelian bahan baku dan penerimaan dari penjualan produk dalam bentuk tunai. Kebutuhan uang tunai tersebut akan berubah dalam interval tingkat waktu dan tingkat aktivitas usaha.
Motivasi berjaga-jaga muncul karena individu dan perusahaan menganggap perlu uang tunai diluar apa yang digunakan untuk bertransaksi, guna memenuhi kewajiban dan berbagai kesempatan yang tidak disangka untuk pembelian di muka, dengan jumlah yang sangat terbatas.
Jumlah uang yang diminta dalam ekonomi Islam hanya tediri dari dua motivasi yang telah disebutkan di atas, yang merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, pada tingkat tertentu telah ditentukan zakat atas asset yang kurang produktif.
Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan permintaan atas uang oleh masyarakat, untuk tingkat pendapatan tertentu yang terkena zakat dirumuskan sebagai berikut;
MD = f(Y/m)
(ΔMD/ΔY)dm = 0 > 0
MD = Permintaan Uang dalam masyarakat Islam
Y = Pendapatan
m = Tingkat biaya karena menyimpan uang dalam bentuk kas
Suatu kenaikan pada biaya uang yang menganggur, pada tingkat pendapatan tertentu akan cenderung mengurangi jumlah uang permintaan uang. Suatu kenaikan pada biaya uang yang menganggur, pada tingkat pendapatan tertentu akan cendrung mengurangi jumlah permintaan uang.
Pada gambar berikut, bila pendapatan adalah Y1 dan tingkat biaya adalah m1 maka jumlah permintaan uang adalah M1D . Kenaikan tingkat biaya ke m2 akan mengakibatkan penurunan jumlah permintaan ke M2D, begitu seterusnya.
Y1
Y
Y1 |
Y |
Permintaan Uang dalam Ekomoni Islam
Terkait dengan fungsi Liquidity Preference yang digambarkan Keyness, dari hasil analisa statistik, terhadap seluruh negara Islam (yang umat Islamnya lebih dari 50%), dapat disimpulkan:
1. Permintaan uang pada negara Islam ditentukan oleh pendapatan, dalam hal ini motif transaksi dan berjaga-jaga mendominasi alasan penduduk muslim.
2. Kekayaan merupakan determinan yang penting dalam permintaan uang pada beberapa negara
3. Perminataan uang dalam arti sempit maupun luas tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga sehingga implikasinya adalah :
a. Preferensi umat islam berbeda dengan model Keyness, jadi motif spekulasi tidak ditemukan di negara-negara Islam
b. Penghapusan tingkat bunga secara menyeluruh di negara-negara Islam tidak akan menimbulkan masalah yang serius dalam hubungannya dengan keefektifan kebijakan moneter di negara-negara tersebut.
IV.5 Konsep Kesejahteraan
Ada dua pengertian yang saling berkaitan antara tingkat kepuasan dan kesejahteraan. Jika tingkat kepuasan lebih kepada individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan lebih kepada keadaan komunitas atau masyarakat. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Dengan kata lain lingkup substansi kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antar dimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu. Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas[3].
V. PEMBAHASAN
V.1 Negara Kesejahteraan dalam Perspektif Islam
Perang ideologi antara kapitalisme dan sosialisme yang sampai saat ini belum juga menemukan titik temu ternyata berdampak pada miliaran umat manusia. Meskipun kapitalisme dianggap lebih unggul, sesungguhnya ideologi ini telah gagal memberi kesejahteraan bagi kemanusiaan. Di Barat dan bahkan dinegara muslim sendiri telah melupakan bahwa ada satu sistem yang bisa menjadi alternatif, yaitu sistem negara kesejahteraan Islami (Islamic welfare state). Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peradaban dan harkat martabat kemanusiaan yang memadukan antara aspek material dan spiritual, keduniawian dan keukhrowian. Islam bukan hanya sekedar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan segelintir atau sekelompok orang. Sistem ekonomi Islam, memiliki dua tujuan: memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Implisit dalam pengertian ini adalah adanya pengakuan bahwa umat Islam akan dapat beribadah kepada Allah secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Negara melakukan hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib. Sebagai contoh, zakat merupakan salah satu alat pendistribusian kekayaan yang bermakna, karena mampu mentransfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Selain itu, penghapusan riba mencegah eksploitasi ekonomi yang merugikan kelompok lemah. Sebagaimana sejarah menyaksikan, Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan ekonomi individu dengan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kehadiran negara diperlukan untuk menjamin setiap warganya mampu memenuhi kebutuhan hidup standar. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW, ”Setiap penguasa yang bertanggungjawab mengatur urusan-urusan Muslim, tetapi tidak berjuang dengan keras dan amanah bagi kesejahteraan mereka, tidak akan masuk surga bersama mereka.” (Hamid, 2007)
V.2 Kesejahteraan
kesejahteraan adalah sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada Negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.” Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya (Esping-Andersen, 1990; Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis (lihat Husodo, 2006).
Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya (Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga. Dapat dikatakan, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism) (Suharto, 2006). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis (Suharto, 2006).
Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara. Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara.
V.3 Fungsi Uang dalam Perspektif Islam
Uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga. Oleh karena itu, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga. Misalkan, harga adalah standar untuk barang, sedangkan upah adalah standar untuk manusia, yang masing-masing merupakan perkiraan masyarakat terhadap nilai barang dan tenaga orang. Sementara promis, saham dan sejenisnya tidak bisa disebut sebagai uang.
Perkiraan nilai-nilai barang dan jasa di negeri manapun dinyatakan dengan satuan-satuan, maka satuan inilah yang menjadi standar yang dipergunakan untuk mengukur kegunaan barang dan tenaga. Satuan-satuan mi menjadi alat tukar (medium of exchange). Satuan satuan inilah yang disebut dengan sebutan uang.
Ketika menetapkan hukum-hukum jual-beli dan arah, Islam tidak menentukan barang tertentu yang menjadi pijakan pertukaran untuk menukarkan barang atau tenaga dengan kegunaan (utility) tertentu sebagai suatu keharusan. Namun, Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan barang apa saja, selama dalam pertukaran tersebut masing-masing saling menerima (ridha). Seseorang boleh menikahi seorang wanita dengan kompensasi mengajari Al-Qur’an kepada wanita tersebut. Seseorang juga boleh membeli barang dengan kompensasi bekerja pada pemiliknya selama sehari, misalnya. Seseorang juga boleh bekerja pada seseorang selama sehari dengan kompensasi berupa sejumlah kurma.
Menurut Imam Al Ghazali dalam Kitabnya Ihya Ulumaddin, uang berfungsi sebagai media pertukaran namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan mencipatakan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan komoditi. Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maknanya uang tidak mempunyai harga, tetapi dapat merefleksikan semua harga barang. Hal ini bertentangan dengan prinsip Ekonomi Klasik yang dikenal sebagai direct utility function. Dalam ekonomi Islam, jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang memberikan kegunaan.
Dalam sistem perekonomian kapitalis, uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah (legal tender) melainkan juga sebagai komoditas. Uang juga dapat diperjual belikan secara spot atau ditangguhkan. Ketika uang diperlakukan sebagai komoditas berkembanglah apa yang disebut dengan pasar uang. Pasar uang kemudian berkembang seiring dengan munculnya pasar derivatif yang menggunakan bunga sebagai harga dari produk-produknya. Transaksi di pasar uang dengan pasar derivatifnya sebagian besar mengandung motif spekulasi. Kondisi inilah yang menciptakan gelembung perekonomian, dimana suatu kondisi melibatkan transaksi keuangan yang besar sekali, namun sesungguhnya tidak ada isinya.
V.4 Uang Bukan Barang Komoditi
Jika uang digunakan tidak semestinya dalam arti uang dijadikan sebagai bahan komoditas, maka akan menimbulkan dampak buruk dalam perekonomian secara global, sebagimana yang dapat kita rasakan akhir-akhir ini. Yang sesungguhnya semua ini sudah dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ada lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi yang dikatakan oleh ibn Taimiyah yaitu :
1. Perdagangan uang akan memicu inflasi;
2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan;
3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang;
4. Perdagangan internasional akan menurun;
5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinstik mata uang akan mengalir keluar negeri.
Menurut Umar bin Khatab, sesungguhnya uang sebagai alat tukar tidak harus terbatas pada pada dua logam mulia saja (emas dan perak). Suatu barang yang telah berubah fungsinya menjadi alat tukar (uang) maka fungsi moneternya akan meniadakan fungsinya.
Ibnu Taimiyah berpendapat uang sebagai alat tukar bahannya bisa diambil dari apa saja yang menjadi kesepakatan adat (‘urf). Fungsi uang sebagai media pertukaran tidak berhubungan dengan tujuan apapun, tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya .
Oleh karena itu, ketika uang kertas telah menjadi alat pembayaran yang sah, maka kedudukannya dalam hukum sama dengan kedudukan emas dan perak. Uang kertas juga diakui sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakat dari padanya.
V.5 Kesejahteraan dalam Syari’ah
Menurut Imam Al-Syathibi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibi, wafat 790 Hijriah) Tujuan utama syariah Islam dalam kitabnya Al-Muwafaqaat adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah, menurut Al-Syathibi, adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana bahwa tujuan utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia.
Di dalam Alquran, sedikitnya ada 69 ayat yang secara khusus menyebut kemiskinan. Di samping itu, masih ada puluhan lagi ayat-ayat yang menyebut kata sejenis dengan kemiskinan, seperti kata faqir, fuqara, ba’s, saa’il, qani’, mu’tarr, dhaa’if, dan mustadh’afiin. Selain itu, sedikitnya ada 42 ayat tentang zakat yang korelasinya dengan kemiskinan juga amat erat. Jika dijumlah, kita akan menemukan lebih dari 150 ayat Alquran yang berkorelasi dengan kemiskinan.
V.6 Ukuran Kesejahteraan
Ukuran tingkat kesejahteraan manusia selalu mengalami perubahan. Pada 1950-an, sejahtera diukur dari aspek fisik, seperti gizi, tinggi dan berat badan, harapan hidup, serta income. Pada 1980-an, ada perubahan di mana sejahtera diukur dari income, tenaga kerja, dan hak-hak sipil. Pada 1990-an, Mahbub Ul-Haq, sarjana keturunan Pakistan, merumuskan ukuran kesejahteraan dengan yang disebut Human Development Index (HDI). Dengan HDI, kesejahteraan tidak lagi ditekankan pada aspek kualitas ekonomi-material saja, tetapi juga pada aspek kualitas sosial suatu masyarakat.
Indonesia sebagai negara dengan populasi yang sangat besar, memiliki karakteristik ekonomi yang berbeda dengan karakteristik negara-negara Muslim di Timur Tengah. Fokus peningkatan GDP per kapita dan pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan memberdayakan sektor-sektor yang memiliki banyak pelaku (the bottom of the pyramid, meminjam istilah Prahalad). Yaitu, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai hampir 50 juta unit dan menyerap hampir 92 juta tenaga kerja. Dengan menempatkan UMKM dalam prioritas utama pembangunan ekonomi Indonesia, sesungguhnya kita juga sedang melaksanakan pesan Islam: Hendaknya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.[QS Al-Hasyr (59): 7].
Indikator sejahtera menurut Islam merujuk kepada Al Qur’an surat Al Quraisy (106):3 – 4, yang artiya :
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah) (106:3)” Yang telah memberikan makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut (106:4)”
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa indikator kesejahteraan dalam Al qur’an ada tiga, yaitu :
1. Menyembah Tuhan (pemilik) Ka’bah
2. Menghilangkan lapar
3. Menghilangkan rasa takut
1. Menyembah Tuhan (Pemilik) Ka’bah
Indikator sejahtera yang pertama dan paling utama di dalam Al-Qur’an adalah “menyembah tuhan (pemilik) rumah (Ka’bah)”, mengandung makna bahwa proses mensejahterakan masyarakat tersebut didahului dengan pembangunan Tauhid, sehingga sebelum masyarakat sejahtera secara fisik, maka terlebih dahulu dan yang paling utama adalah masyarakat benar-benar menjadikan Allah sebagai pelindung, pengayom dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada sang khalik. Semua aktivitas kehidupan masyarakat terbingkai dalam aktivitas ibadah.
2. Menghilangkan lapar
Mengandung makna bahwa , QS Al-Quraisy (106):4, diawali dengan penegasan kembali tentang Tauhid bahwa yang memberi makan kepada orang yang lapar tersebut adalah Allah, jadi ditegaskan bahwa rizki berasal dari Allah bekerja merupakan sarana untuk mendapatkan rizki dari Allah. Kemudian diayat ini juga disebutkan bahwa rizki yang bersumber dari Allah tersebut untuk menghilangkan lapar. Perlu digaris bawahi bahwa rizki tersebut adalah untuk menghilangkan lapar. Mempunyai makna bahwa rizki yang diberikan Allah kepada setiap ummatnya bukan untuk ditumpuk-tumpuk, ditimbun, apalagi dikuasai oleh individu, kelompok atau orang-orang tertentu saja. Ini juga bermakna secukupnya saja sesuai dengan kebutuhan menghilangkan lapar bukan kekenyangan, apalagi berlebih-lebihan.
3. Menghilangkan rasa takut
Membuat suasana menjadi aman, nyaman dan tentram bagian dari indikator sejahtera atau tidaknya suatu masyarakat. Jika perampokan, perkosaan, bunuh diri, dan kasus kriminalitas tinggi, maka mengindikasikan bahwa masyarakat tersebut belum sejahtera. Dengan demikian pembentukan pribadi-pribadi yang sholeh dan membuat sistim yang menjaga kesholehan setiap orang bisa terjaga merupakan bagian integral dari proses mensejahterakan masyarakat.
Indah sekali Al-Qur’an mendefinisikan tentang kesejahteraan, kesejahteraaan dimulai dari kesejahteraan individu-individu yang mempunyai tauhid yang kuat, kemudian tercukupi kebutuhan dasarnya dan tidak berlebih-lebihan, sehingga suasana menjadi aman , nyaman dan tentram.
VI. KESIMPULAN
Negara kesejahteraan adalah Negara yang mampu mengembangkan ekonomi sekaligus melakukan perbaikan atas tingkat kehidupan masyarakat. Krisis welfare state yang belakangan ini sering diperdebatkan, hanyalah menyangkut ukuran dan kesanggupannya, dan bukan pada soal keberadaannya. Menurut Spicker (2002), jika pun welfare state di Barat saat ini dianggap gagal merespon kapitalisme global, sesungguhnya hal itu disebabkan bukan karena sistem ini boros atau terlalu besar. Melainkan, justru karena welfare state terus menerus diciutkan. Dan ternyata kesenjangan itu semakin lebar sejalan dengan perubahan waktu dengan adanya kenaikan rata-rata kesejahteraan dikarena alat ukur yang dipakai kurang akurat.
Kesejahteraan menurut Islam adalah suatu kehidupan dimana memenuhi tiga indikator yang ada dalam surat al-Quraisy yaitu pertama, Menyembah Tuhan (pemilik) Ka’bah, kedua, Menghilangkan lapar, ketiga, Menghilangkan rasa takut. Sedang sistem negara kesejahteraan bukan hal yang baru bagi Islam, sebelum barat menerapkannya, dunia Islam telah mempraktikannya lebih dahulu. Oleh karena itu, jika sekarang ada gagasan untuk menerapkan sistem ini di Indonesia, ini tidak berarti dan tidak perlu mengikuti Barat. Melainkan, hanya merevitalisasi apa yang secara otentik dipesankan Islam dan pernah dipraktikkan oleh Dunia Islam sekian abad silam. Pengalaman penerapan welfare state di Negara Madinah maupun pada masa Kekhalifahan Umar yang kini diadopsi Barat, merupakan referensi yang berharga. Yang menjadi persoalan, inisiatif negara kesejahteraan kini telah banyak ditinggalkan oleh negara-negara Islam. Jika di Barat, orang miskin, jompo, cacat, anak-anak dan kelompok rentan mendapat perhatian dan perlindungan sosial dari negara secara komprehensif sebagaimana diajarkan Islam, justru di negara-negara Islam atau mayoritas penduduknya Islam jaminan sosial bagi kelompok-kelompok kurang beruntung sering kali hanya diberikan secara sporadis melalui kegiatan-kegiatan karitatif atau skema-skema perlindungan sosial ad-hoc dan residual. Kondisi ini pernah disinggung oleh Muhammad Abduh sekian puluh tahun lalu, ”Di Barat saya seringkali melihat Islam tanpa Muslim. Tetapi di Timur, saya banyak menjumpai Muslim tanpa Islam.” Banyak penguasa Islam kini hidup bergelimang kemewahan. Para pemimpin Islam kini hidup di istana bagaikan raja-raja yang terpisah dari rakyatnya.
Saran
Jika kita mau membangun negara kita sejahtera seyogyanya kita mulai dari diri kita dulu yaitu dengan cara kita harus bisa mengatur pola konsumsi kita sehari-hari. Tentunya adanya campur tangan pemerintah yang serius karena kita hidup dalam bermasyarakat dan bernegara.
Orang yang bergelimang harta bukan berarti dia adalah orang yang sejahtera, harta bukanya satu-satunya ukuran untuk melihat bahwa seseorang itu sejahtera. Janganlah pernah takut mlarat untuk membayar zakat, dan jangan pernah takut miskin untuk bersedekah. Apa yang kita dapatkan hanya titipan yang maha kuasa, maka untuk dapat kita menyempurnakan kesejahteraan kita jangan lupa kita selalu mengucapkan rasa syukur kita kepada yang Maha Kuasa tentang apa yang telah diberikan oleh-Nya. Bila anda dan saya mengucap syukur, itu berarti kita sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Syed Mumtaz (2008), Social Welfare: A Basic Islamic Value, http://muslimcanada.org/welfare.htm (diakses 5 Juni 2009)
Fukuyama, Francis (2005), State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21), Jakarta: Gramedia (terjemahan). 12
Hamid, Shahid (2008), An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and The Welfare State in the Caliphate of Umar (Rta), www.renaissance.com.pk/ (diakses 6 Juni 2009)
Husodo, Siswono Yudo (2006), “Membangun Negara Kesejahteraan”, makalah disampaikan pada Seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Wisma
Suharto, Edi (2007), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia, Bandung: Alfabeta
Metwally, M. (1995). Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Bangkit Daya Insana.
Nasution, M. E. (2006). Pengenalan Eksekutif Ilmu Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Group.
An-Nabhani, Taqyuddin (2002), An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam :Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, ed. 7, Surabaya : Risalah Gusti.
Karim, Adiwarman A. (2008). Ekonomi Mikro Islami. ed.3, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1] Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani a-: "tanpa", dan nomos: "hukum" atau "peraturan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar